1. Dalil
tentang Aqidah (Tauhid)
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً
صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
2.
Pengertian
2.1 Aqidah
Secara Etimologi
Aqidah secara bahasa berasal dari
kata ( عقد) yang berarti ikatan atau pengikatan. Kalimat “Saya
ber-i’tiqad begini” maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut.
Aqidah adalah apa yang diyakini oleh
seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya
bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati
dan pembenarannya kepada sesuatu. Secara istilah adalah keyakinan hati atas
sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat
dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga
ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan
ada aqidah yang sesat atau menyimpang.
2.2 Aqidah
Secara Syara’
Yaitu iman kepada Allah, para
MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada
qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman. (http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/makna-aqidah-dan-urgensinya-sebagai.html)
”
Ketahuilah (ya Muhammad) sesungguhnya tidak ada sembahan yang haq kecuali
Allah, & mohonlah ampun bagi dosa-dosamu, dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. (Muhammad : 19)
Ketahuilah - semoga Allah
merohmatimu - sesungguhnya Allah menegaskan & mendahulukan serta
mengutamakan untuk mengetahui dan berilmu tentang At tauhid dari
pada beribadah yaitu beristifghfar, dikarenakan “mengenal tauhid menunjukkan
ilmu ‘usul (dasar pokok & pondasinya agama), adapun beristighfar
menunjukkan ilmu furu’ ( cabang dan aplikasi dari ilmu usul tersebut)”,dan
dalam Qaidah.
Tauhid merupakan kewajiban utama dan
pertama yang diperintahkan Alloh kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat
disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti
hakekat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama
kita yang mulia ini.
3. Hakikat nya
Hakekat
tauhid adalah mengesakan Alloh.
Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut penjelasannya.
1. Mengesakan Alloh dalam Rububiyah-Nya
Maksudnya adalah kita meyakini
keesaan Alloh dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Alloh,
seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi
rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan
kekhususan bagi Alloh. (http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html)
Yaitu mengesakan Allah Subhannahu wa
Ta’ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan
segenap makhluk. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Allah menciptakan
segala sesuatu …” (Az-Zumar: 62)
Bahwasanya Dia adalah Pemberi
rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhannahu
wa Ta’ala berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rizkinya, …” (Hud: 6)
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa
alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang
memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi
siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke
dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang
hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan
Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (Ali Imran:
26-27) (http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/makna-tauhid-rububiyah-dan.html)
Hal yang seperti ini diakui oleh
seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang
mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan
keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk
hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali
ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka
sendiri. Hal ini sebagaimana firman Alloh “Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan
langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka
katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)
Namun pengakuan seseorang terhadap
Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena
sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rosululloh mengakui
dan meyakini jenis tauhid ini.
Sebagaimana firman Alloh,
“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy
yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka apakah
kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan
Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun:
86-89). Dan yang amat sangat menyedihkan adalah kebanyakan kaum muslimin di
zaman sekarang menganggap bahwa seseorang sudah dikatakan beragama Islam jika
telah memiliki keyakinan seperti ini. Wallohul musta’an. (http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html)
2. Mengesakan Alloh Dalam Uluhiyah-Nya
Maksudnya adalah kita mengesakan
Alloh dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar,
menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah
lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya
kepada Alloh semata.
Tauhid uluhiyah, yaitu tauhid
ibadah, karena ilah maknanya adalah ma’bud (yang disembah). Maka tidak ada yang
diseru dalam do’a kecuali Allah, tidak ada yang dimintai pertolongan kecuali
Dia, tidak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia, tidak boleh
menyembelih kurban atau bernadzar kecuali untukNya, dan tidak boleh mengarahkan
seluruh ibadah kecuali untukNya dan karenaNya semata. (http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html)
Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti
wajibnya tauhid uluhiyah. Karena itu seringkali Allah membantah orang yang
mengingkari tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah yang mereka akui dan
yakini. Seperti firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
(Al-Baqarah: 21-22) (http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/tauhid-rububiyah-mengharuskan-adanya.html)
Tauhid inilah yang merupakan
inti dakwah para rosul dan merupakan tauhid yang diingkari
oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Alloh
mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan
sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam
ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam
ibadah hanya ditujukan untuk Alloh semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka
mereka dikafirkan oleh Alloh dan Rosul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Alloh
adalah satu-satunya Pencipta alam semesta. http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html
Allah Subhannahu wa Ta’ala juga
berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.”
(An-Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.”
(Al-Anbiya’: 25)
Setiap rasul selalu melalui
dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi
Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain: “Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagi-mu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Salam sendiri bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai
mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/makna-tauhid-uluhiyah-dan-bahwa-ia.html)
3. Mengesakan Alloh Dalam Nama
dan Sifat-Nya
Maksudnya adalah kita beriman kepada
nama-nama dan sifat-sifat Alloh yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rosululloh. Dan kita juga meyakini bahwa hanya Alloh-lah yang pantas untuk
memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an dan Hadits tersebut
(yang dikenal dengan Asmaul Husna). Sebagaimana firman-Nya“Dialah Alloh Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.”
(Al-Hasyr: 24) (http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html)
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Ayat yang agung ini menunjukkan
hal-hal berikut:
1. Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala , maka siapa yang menafikannya berarti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah dan juga berarti dia telah menentang Allah Subhannahu wa Ta’ala .
2. Bahwasanya asma’ Allah Subhannahu wa Ta’ala semuanya adalah husna. Maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa kekurangan dan cacat sedikit pun. Ia bukanlah sekedar nama-nama kosong yang tak bermakna atau tak mengandung arti.
3. Sesungguhnya Allah memerintahkan berdo’a dan ber-tawassul kepadaNya dengan nama-namaNya. Maka hal ini menunjukkan keagungannya serta kecintaan Allah kepada do’a yang disertai nama-namaNya.
4. Bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang ilhad dalam asma’Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu.
1. Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala , maka siapa yang menafikannya berarti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah dan juga berarti dia telah menentang Allah Subhannahu wa Ta’ala .
2. Bahwasanya asma’ Allah Subhannahu wa Ta’ala semuanya adalah husna. Maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa kekurangan dan cacat sedikit pun. Ia bukanlah sekedar nama-nama kosong yang tak bermakna atau tak mengandung arti.
3. Sesungguhnya Allah memerintahkan berdo’a dan ber-tawassul kepadaNya dengan nama-namaNya. Maka hal ini menunjukkan keagungannya serta kecintaan Allah kepada do’a yang disertai nama-namaNya.
4. Bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang ilhad dalam asma’Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu.
Ilhad menurut bahasa berarti
condong. Ilhad di dalam asma’ Allah berarti menyelewengkannya dari makna-makna
agung yang dikandungnya kepada makna-makna batil yang tidak dikandungnya.
Sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang men-ta’wil-kannya dari makna-makna
sebenarnya kepada makna yang mereka ada-adakan. (http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/asma-husna-dan-sifat-kesempurnaan.html)
Alloh juga berfirman: “Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11).
Seseorang baru dapat dikatakan
seorang muslim yang tulen jika telah mengesakan Alloh dan tidak berbuat syirik
dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Alloh (berbuat
syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim
tulen tetapi dia adalah seorang musyrik. (http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html)
4.
Kedudukan
nya dalam Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki
kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya,
sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu
yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu
bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk
sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh
dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan
landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt
berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan
perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan
tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S.
al-Kahfi: 110)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan
kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul
melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar
akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan
aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran
Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah
dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai
aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama
kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang
merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat.
Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat,
sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam
selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan
di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama
sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan
teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
Alloh berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus
rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Alloh, dan jauhilah
Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36). Makna dari ayat ini adalah bahwa para
Rosul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita Muhammad shollallohu
alaihi wa sallam diutus oleh Alloh untuk mengajak kaumnya untuk
beribadah hanya kepada Alloh semata dan tidak memepersekutukanNya dengan
sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah “Sudahkah kita
memenuhi seruan Rosul kita Muhammad shollallohu alaihi wa sallam untuk
beribadah hanya kepada Alloh semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh
terhadap seruan Rosululloh ini?” Tanyakanlah hal ini pada masing-masing kita
dan jujurlah…
Alloh berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat:
56) maksud dari kata menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Alloh dalam
segala macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallohu
‘anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas
menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk
beribadah kepada Alloh saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan
waktu kalian untuk bermain-main dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman
Alloh “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada
di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu
permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki
berbuat demikian.” (Al Anbiya: 16-17). “Maka apakah kamu
mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
Tauhid Merupakan Perintah Alloh yang
Paling Utama dan Pertama ((http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html))
Alloh berfirman, “Sembahlah
Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36). Dalam ayat ini
Alloh menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Dan hal pertama yang Dia
perintahkan adalah untuk menyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini
didahulukan daripada berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada
umumnya. Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap
sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya terutama hak
beribadah hanya kepada Alloh semata.
5.
SUMBER,
METODE DAN CARA PENGAMBILAN AQIDAH ISLAM
5.1 Sumber-sumber Aqidah Islam
Aqidah Islam adalah sesuatu yang
bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan
dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam
adalah terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih
tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu
tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.
5.2
Metode
Memahami Aqidah Islam dari Sumber-sumbernya Menurut Para Shahabat.
Generasi para shahabat adalah
generasi yang dinyatakan oleh Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin.
Kebaikan mereka terletak pada pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas
ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Hal ini tidak mengherankan, karena
mereka adalah generasi awal yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, dan
mereka mendapat pengajaran dan pendidikan langsung dari Rasulullah saw. Setelah
generasi shahabat, kualifikasi atau derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan
oleh generasi berikutnya dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh
generasi tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai
generasi salaf. Rasulullah bersabda tentang mereka,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ…
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah
generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Generasi salaf yang shalih (al-salaf
al-shalih) mengambil pemahaman aqidah dari al-Quran dan sunnah dengan
metode mengimani atau meyakini semua yang diinformasikan (ditunjukkan) oleh
kedua sumber tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam kedua
sumber itu, mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan diri dengan
kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu pemahaman yang
menjadi dasar aqidah atau keyakinan.
Dengan metode di atas, maka para
shahabat, dan generasi berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik (ihsan),
mereka beraqidah dengan aqidah yang sama. Di kalangan mereka tidak terjadi
perselisihan dalam masalah aqidah. Kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan di
kalangan mereka hanyalah dalam masalah hukum yang bersifat cabang (furu’iyyah)
saja, bukan dalam masalah-masalah yang pokok (ushuliyyah). Seperti ini
pula keadaan yang terjadi di kalangan para imam madzhab yang empat, yaitu Imam
Abu Hanifah (th. 699-767 M), Imam Malik (tahun 712-797), Imam Syafi’i (tahun
767-820), dan Imam Ahmad (tahun 780-855 M).
Karena itulah, maka mereka
dipersaksikan oleh Rasulullah saw sebagai golongan yang selamat, sebagaimana
sabda beliau,
قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِى
Artinya: “Mereka (golongan yang selamat)
adalah orang-orang yang berada di atas suatu prinsip seperti halnya saya dan
para shahabat saya telah berjalan di atasnya.” (H.R. Tirmidzi)
No comments:
Post a Comment