adsense

Showing posts with label foto. Show all posts
Showing posts with label foto. Show all posts

AL-WARA’ DAN AL-BARA’

Pengertian al-Wala` dan al-Bara`

Al-Wala` dan Al-Bara` maksudnya adalah: mencintai orang-orang yang beriman dan loyal kepada mereka, membenci orang-orang kafir dan memusuhi mereka, berlepas diri dari mereka dan dari agama mereka. Al Wala’ wal Bara’ bagi seorang Muslim merupakan satu pembahasan penting dalam masalah akidah dan diantara bukti keimanan. Namun permasalahan Al Wala’ wal Bara’ seringkali tidak mendapat perhatian serius di kalangan Umat Islam. Al Wala’ secara bahasa berarti pertolongan, dukungan, kasih sayang dan seterusnya. Didefinisikan dengan cinta kepada Allah, Rasul, para Sahabat serta orang-orang mukmin dan menolong mereka. Adapun Al Bara’ secara bahasa adalah bersih, anti, bebas dan seterusnya.  Didefinisikan dengan benci kepada siapa yang menentang Allah, Rasul, para Sahabat dan orang-orang mukmin, baik ia orang kafir, musyrik, munafik dan fasik.  Al Wala’ wal Bara’ mendorong seorang muslim untuk lebih mencintai dan ridha terhadap muslim, ketimbang kepada siapa yang menyalahi dan menentang agama dan aturan Allah dan RasulNya. Al Wala wal Bara’ adalah ikatan iman yang sangat kokoh, sebagaimana merupakan ibadah hati yang direalisasikan dalam perkataan dan perbuatan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka [adalah] menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.(Attaubah: 71). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menghalangi karena Allah, maka ia telah menyempurnakan keimanannya. (HR. Abu Dawud).Inilah pengertian wala` dan bara`, seperti firman Allah SWT dalam surat al-Mumtahanah:
Artinya: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. al-Mumtahanah: 4)


bahayanya al-wara dan al-bara

B .Pembahasan Sikap Al-wara dan Al-bara’

1. Kewajiban memusuhi orang-orang yang kafir atau musuh-musuh Islam

Membenci dan memusuhi mereka bukan berarti engkau berbuat zalim atau melakukan tindakan melewati batas terhadap mereka apabila mereka bukan kafir harbi (musuh dalam perang). Namun maksudnya adalah: bahwa engkau membenci dan memusuhi mereka di dalam hatimu dan mereka bukan sahabatmu. Akan tetapi engkau tidak boleh menyakiti, mengganggu dan menzalimi mereka. apabila mereka memberi salam maka jawablah, memberi nasehat dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, (QS. al- 'Ankabut:46)

Setiap muslim yang meyakini kebenaran Aqidah Islamiyah mempunyai kewajiban untuk selalu menolong dan berloyalitas terhadap saudara-saudaranya se-Aqidah Islamiyah serta memusuhi musuh-musuh mereka. Mencintai ahli tauhid serta ikhlas kepada mereka dan membenci orang-orang musyrik serta           memusuhi mereka .

Yang demikian itu, adalah merupakan dien Nabi Ibrahim Alaihissalam beserta orang-orang yang bersama beliau yang kita semua diperintahkan untuk mengambil contoh yang baik dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
(QS. al-Mumtahanah: 4).
Persoalan ini juga merupakan dien Nabi besar Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Ta'ala berfirman : 
Artinya : " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". [Al-Maidah : 51].
Ayat ini menerangkan tentang haramnya berloyalitas khusus kepada ahli kitab (Yahudi dan Nashrani).
 Adapun ayat yang menerangkan haramnya berloyalitas kepada umumnya orang-orang kafir. Allah berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian mengambil musuh-Ku dan musuh-mu sekalian menjadi teman-teman setia". [Al-Mumtahanah : 1]
Bahkan, sungguh Allah Ta'ala haramkan kepada orang-orang yang beriman untuk berloyalitas terhadap orang-orang kafir, walau mereka adalah kerabat yang paling dekat. Allah Ta'ala berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu, pemimpin-pemimpinmu, jika mereka mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim". [At-Taubah : 23].
Dan Allah Ta'ala berfirman :
Artinya :"Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka". [Al-Mujadalah : 22]


2. Kewajiban berloyalitas terhadap orang-orang yang beriman
Sebagaimana Allah Ta'ala telah mengharamkan berloyalitas terhadap orang-orang kafir, karena mereka adalah musuh-musuh Aqidah Islamiyah ini, maka Allah Ta'ala telah mewajibkan untuk berloyalitas terhadap orang-orang yang beriman serta mencintai mereka. Allah berfirman :
Artinya :"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang". [Al-Maidah : 55-56].
Al Wala’ wal Bara’ merupakan ikatan keimanan yang kokoh.Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Muslim).

Saling menyayangi sesama muslim
Dan Allah Ta'ala berfirman :
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka". [Al-Fath : 29]
Orang-orang mu’min yang satu dengan yang lainnya adalah saudara
Dan Allah Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara". [Al-Hujurat : 10].

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, baik dalam dien maupun dalam aqidah, meskipun berbeda nasab dan masa hidupnya serta berjauhan tempat tinggal mereka satu sama lain.
Allah berfirman :
Artinya : "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a : Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan jangan Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al-Hasyr : 10].

Mereka senantiasa saling mencintai, walaupun tempat-tempat tinggal mereka berjauhan dan zaman mereka berbeda, orang-orang yang terakhir mengambil contoh yang baik dari orang-orang sebelumnya, sebagian mereka mendo'akan dan memintakan ampun untuk sebagian yang lain.

meminta berkah kekuburan



A.      Hukum Meminta Berkah kepada Kuburan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, At Tabaruk (meminta berkah) pada kuburan adalah haram dan termasuk dari salah satu jenis kesyirikan sebab dengan demikian berarti menetapkan adanya pengaruh darinya yang Allah tidak turunkan dari kekuasaannya. Dan juga tidak termasuk dari kebiasaan Salafus Shalih melakukan tabaruk seperti ini. Maka dari sisi ini termasuk perkara yang bid’ah. Apabila orang yang bertabaruk ini berkeyakinan bahwa si penghuni kubur memiliki pengaruh atau kemampuan untuk mencegah mudarat atau mendatangkan maslahat maka ini sudah termasuk syirik besar. Juga termasuk dalam syirik besar bila melakukan ibadah kepada si penghuni kubur dengan ruku’ atau sujud atau mengadakan sembelihan dalam rangka mendekatkan diri padanya (penghuni kubur) dan pengagungan untuknya.
Allah berfirman:
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ.
Artinya:
“Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Al-Mukminun: 117)
Dan Allah juga berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al Kahfi : 110)
Orang yang melakukan syirik besar adalah kafir yang abadi di dalam neraka dan diharamkan baginya masuk surga, karena Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72).
Perlu dibedakan ber Tabaruk (mengharap berkah) dengan berziarah kubur untuk mendoakan penghuni kubur. Seorang anak ziarah kubur kepada orang tuanya yang telah meninggal dan mendoakan orang tuanya, ini di perbolehkan. Tapi bila berziarah sambil malah minta berkah atau doa dari penghuni kubur, ini sudah termasuk ber Tabaruk.[1] 
aturan meminta kepada orang soleh

Bila ada orang yang meminta berkah kepada kuburan atau berdoa kepada orang yang dikubur harus diingkar dan dijelaskan kepadanya bahwa perbuatan itu tidak akan menyelamatkannya dari adzab Allah. Perkataan mereka, “Ini adalah tradisi yang kami ambil” adalah alasan yang digunakan orang-orang musyrik dulu, yang mendustakan para rasul dan mereka berkata, “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Az-Zukhruf: 23).
Kemudian sebagaimana difirmankan Allah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada mereka, “(Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” mereka menjawab, “Sesungguhnya Kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24).
Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 25).
Berhujjah bahwa kebatilan seseorang ini diambil dari nenek moyangnya atau bahwa itu adalah kebiasaan dan sebagainya, hukumnya tidak boleh. Jika dia berhujjah demikian maka hujjahnya batal di sisi Allah, tidak bermanfaat apa-apa. Bagi orang-orang yang diuji dengan ujian semacam ini, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dan mengikuti kebenaran di manapun mereka berada, kapanpun dan dari siapapun. Hendaklah mereka tidak menerima begitu saja kebiasaan kaum mereka atau mencela orang-orang awam mereka, karena seorang mukmin yang benar adalah yang tdak terperdaya oleh para pencela dan tidak dipalingkan dari agama Allah karena suatu bencana.


B.       Berlebih-lebihan dalam Mengagungkan Orang-orang Shalih menjadi Penyebab Manusia Kufur dan Meninggalkan Agamanya
Disebutkan dalam riwayat yang shahih, bahwa shahabat Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Ta’ala,
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا.
Artinya:
 “Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata, ’Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (peribadahan kepada) Tuhan-tuhan kalian, dan janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (peribadahan kepada) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.’” (QS. Nuh: 23)
Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu berkata, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Dikala mereka meninggal, setan membisikkan kepada generasi penerus mereka, “Pancangkanlah patung-patung di tempat-tempat mereka berkumpul, dan namailah patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Maka merekapun menuruti bisikan tersebut. Awal mulanya, patung tersebut tidak disembah. Akan tetapi ketika mereka (orang-orang yang membuat patung tersebut) telah meninggal, dan ilmu agama telah dilalaikan orang, maka patung tersebut mulai disembah.[2]
Demikianlah makar setan terhadap mereka dengan menghembuskan api perselisihan di antara mereka sehingga mereka meninggalkan ajaran rasul, memperdayakan mereka sehingga mengagungkan orang-orang yang sudah mati dan bermukim di kuburan-kuburan mereka. Kemudian setan memperdaya mereka sehingga membuat gambar dan patung orang-orang yang sudah mati itu. Dan akhirnya mereka menyembah patung-patung tersebut.
Orang-orang musyrik di kalangan kaum Nuh adalah kaum yang pertama kali melakukan kemusyrikan. Bentuk kemusyrikan yang pertama kali mereka lakukan adalah pengagungan terhadap orang-orang mati, dan itulah syirik ardhi, syirik yang pertama kali terjadi di bumi ini. Tatkala manusia telah menyembah berhala, menyembah thaghut dan terjerumus dalam kesesatan dan kekufuran, maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Rasul pertama kepada penduduk bumi sebagai rahmat-Nya kepada mereka, rasul itu adalah Nuh ‘alaihis salam bin Yardah bin Mahil bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam ‘alaihis salam.
Ibnul Qayyim berkata, “Banyak ulama salaf yang menuturkan, ‘Ketika orang-orang (yang disebut pada ayat tersebut) telah meninggal, orang-orang setelah mereka beri’tikaf  (berdiam diri dengan tujuan beribadah) di atas kuburan mereka. Selanjutnya mereka membuat patung-patung mereka. Dan setelah masa berlalu lama, generasi penerus mereka mulai beribadah kepada patung tersebut.”
Berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih dan para nabi dengan memberikan salah satu bentuk beribadatan kepada mereka yang merupakan bagian dari sifat uluhiyah, atau menjadikan mereka satu bentuk persembahan dan penghambaan adalah merupakan bentuk kesyirikan yang mengeluarkan seseorang dari keislamannya. Sebab, sifat uluhiyah itu secara keseluruhan hanya menjadi milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Uluhiyah ini tidak patut diberikan kepada siapapun juga, kecuali hanya kepada-Nya.
عَنْ عُبَيْدِاللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمْ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ.

Artinya: Dari ‘Ubaidillah bin Abdillah dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari)
Dari hadits ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya dari berlebih-lebihan dalam pujian, sebagaimana umat nashrani telah melampaui batas ketika memuji Isa bin Maryam. Perbuatan mereka ini telah menjerumuskan mereka kepada jurang kekafiran dan kesyirikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka telah mengklaim bahwa Isa bin Maryam sebagai anak Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan rasul-Nya.”
Dan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda,
إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو
Artinya: “Waspadalah dari kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebih-lebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu).
Imam Muslim juga meriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
"هلك المتنطعون" قالها ثلاثا.
Artinya: “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan” (Beliau mengulangi sabdanya ini sebanyak tiga kali).
Dari hadits-hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah melarang kita dari segala macam perbuatan melampaui batas. Perbuatan melampaui batas adalah sumber dari semua kejelekan, dan sikap bersahaja (tidak berlebihan dan tidak meremehkan) dalam setiap urusan adalah sumber bagi segala keberhasilan dan kebaikan.


[1]Dirujuk dari http://www.kabarislam.com/meminta-berkah-pada-kuburan-dan-bersumpah-dengan-selain-allah
[2]Dirujuk dari (http://muslimah.or.id/aqidah/berlebih-lebihan-terhadap-kuburan-orang-orang-shalih.html)

Larangan menggunakan gelang

Mengenal Tamimah (jimat)
Tamimah pada asalnya digunakan untuk mencegah ‘ain, yaitu pandangan dari mata hasad (dengki). Dengan pandangan yang hasad, seorang anak bisa menangis terus menerus, atau lumpuh atau terkena penyakit. Untuk melindungi anak kecil dari penyakit ‘ain ini, di masa silam –zaman Jahiliyah- digunakanlah tamimah, yang bentuk pluralnya tamaa-im. Ketika  Islam datang, tamimah atau jimat semacam ini dihapus (Lihat Fathul Majid, 131).
Namun tamimah beralih digunakan lebih umum yaitu pada segala sesuatu yang digantung untuk mencegah ‘ain atau lainnya, baik berupa gelang, kalung, benang, atau ikatan. Ini semua disebut tamimah. Nah, kalau di sekitar kita, jimat dan rajah dengan berbagai macam bentuknya dengan berbagai macam penggunaan, itulah yang termasuk dalam tamimah.
Di sekeliling kita, tamimah dapat berupa keris untuk melindungi rumah misalnya, berupa benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan dagangan.
Berikut contoh-contoh jimat dan rajah yang kami peroleh. Kadang jimat ini menjadi sarangnya jin, namun masih disimpan di rumah-rumah sebagai benda pusaka dan tujuan lainnya.


Dalil Larangan Jimat dan Rajah
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah –penulis Fathul Majid- berkata, “Ayat ini dan semisalnya adalah dalil yang menunjukkan tidak bolehnya menggantungkan hati kepada selain Allah ketika ingin meraih manfaat atau menolak bahaya. Ketergantungan hati kepada selain Allah dalam hal itu termasuk kesyirikan“ (Fathul Majid, 127-128).
Jimat dan rajah termasuk yang dimaksudkan dalam ayat yang mulia ini. Karena orang yang memakai jimat dan memasang rajah di dinding dan tempat lainnya, bermaksud untuk mendatangkan manfaat –seperti dagangannya laris atau agar penyakitnya sembuh- atau ingin menolak mudhorot (bahaya) –seperti menolak ‘ain (mata dengki) atau menolak wabah penyakit-.
Ada pelajaran penting dari suatu hadits yang menceritakan peringatan keras Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada sahabatnya yang memakai jimat. Jimat di sini bertujuan untuk menghindarkan dirinya dari penyakit. Namun Nabi -shallallahu ‘alahi wa sallam- ingatkan bahwa jimat tersebut tidak ada manfaatnya. Hati itu harus tawakkal pada Allah bukan pada sebab, apalagi sebab yang tidak terbukti manjurnya dari sisi dalil syar’i dan sisi eksperimen. Inilah pentingnya kita mengetahui bahaya syirik karena di tengah-tengah masyarakat kita jimat, susuk, azimat, pelet, penglaris dagangan, benda-benda pamungkas lainnya di anggap hal biasa. Padahal di sisi Allah hal-hal tadi mengundang petaka.
Dari ‘Imran bin Hushoin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat pada lengan seseorang suatu gelang. Lalu si pengguna tersebut menampakkannya pada beliau lantas ia berkata,
قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً »
“Ini dari tembaga (yang bagus).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Celaka engkau, apa tujuan engkau mengenakan ini?” Ia menjawab, “Ini untuk melindungiku dari sakit wahinah (suatu penyakit yang ada di tangan).” Beliau pun bersabda, “Jimat tersebut hanyalah menambah rasa sakit padamu. Lepaskanlah ia dari tanganmu. Karena jika engkau masih mengenakannya, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad dalam musnadnya 4: 445, Ibnu Majah 3531, Ibnu Hibban 1410 dan 1411. Hadits tersebut hasan kata Syaikh ‘Abdul Qadir Al Arnauth. Lihat tahqiq dan ta’liq beliau terhadap Kitab At Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, terbitan Darus Salam, hal. 36). Hadits di atas menunjukkan larangan mengenakan kalung untuk menolak bala’, yaitu penyakit. Seperti ini termasuk kesyirikan yang hanya mendatangkann petaka bukan keselamatan.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Menggunakan gelang dan semacamnya yang tujuannya untuk melindungi diri dari penyakit termasuk syirik.
2- Haramnya berobat dengan sesuatu yang haram, contohnya jimat seperti yang disebutkan di atas.
3- Wajib mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang tidak tahu.
4- Bahaya syirik di dunia dan akhirat, syirik hanyalah mengundang derita, petaka dan siksa, bukan mendatangkan keselamatan dan kesembuhan.
5- Asalnya menggunakann jimat termasuk syirik ashgor (syirik kecil) selama tidak meyakini jimatlah yang memberikan manfaat. Hadits di atas menunjukkan bahwa syirik ashgor masih lebih besar dari dosa besar karena sampai dikatakan tidak akan beruntung selamanya karena menggunakan jimat.
6- Syirik tidaklah dimaafkan karena sebab jahil (tidak tahu).
7- Wajib kita memperingatkan keras orang yang terjerumus dalam syirik supaya benar-benar perbuatan syirik itu dijauhi.
Dalil Larangan Tamimah (jimat)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).
Hadits ini menunjukkan bahwa memakai azimat dan rajah termasuk di dalamnya dan dihukumi syirik. Dahulu  memang tamimah dimaksudkan untuk gelang dan lainnya yang digunakan sebagai azimat dan sengaja dipakai dengan tujuan untuk mencegah ‘ain, yaitu penyakit mata hasad (iri). Karena pandangan orang yang iri, anak kecil bisa menangis terus menerus dan itulah yang disebut ‘ain. Orang jahiliyah dahulu bahkan di masyarakat kita masih ada yang mencegah penyakit ‘ain ini dengan gelang atau kalung di antara yang disebut dengan ‘benang pawitra’.  Para ulama menjelaskan bahwa tamimah, lebih luas dari itu.
Tamimah adalah segala sesuatu yang digantung –di rumah misalnya-, dipakai –berupa kalung atau gelang misalnya-, diikat –berupa sabuk, rompi rajah misalnya-, baik berupa tulisan Arab, dari bacaan Al Qur’an, suatu benda pusaka ataukah dari selainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat -seperti sembuh dari penyakit atau melariskan barang dagangan, membuat orang lain semakin cinta-, atau untuk mencegah bahaya, -seperti tercegah dari suatu penyakit, sebagai penangkal atau rumah akan dilindungi dari berbagai tindak kejahatan-.
Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531). Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang memakai azimat apa pun tujuannya tidak akan beruntung selamanya. Dan ini tanda bahwa memakai azimat termasuk dosa besar.
Hadits berikut menceritakan bahwa dahulu tamimah itu berupa kalung dan digunakan untuk melindungi unta dari ‘ain dan penyakit lainnya, artinya digunakan sebagai azimat. Sehingga ‘ain itu bukan hanya penyakit hasad pada manusia saja, juga terdapat pada hewan.
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ أَنَّ أَبَا بَشِيرٍ الأَنْصَارِىَّ - رضى الله عنه - أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ - قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ - وَالنَّاسُ فِى مَبِيتِهِمْ ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِى رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
Dari ‘Abbad bin Tamim, bahwasanya Abu Basyir Al Anshori radhiyallahu ‘anhu mengabarkan padanya bahwa ia suatu saat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebagian safarnya. ‘Abdullah berkata bahwa ia menyangka orang-orang saat itu sedang tidur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengutus seseorang agar tidak membiarkan kalung (dari tali busur) atau kalung pada leher unta melainkan dipotong  (HR. Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 2115).
Ada pelajaran penting dalam hadits di atas. Inilah pengingkaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kesyirikan, sampai memotong jimat-jimat yang ada. Dan pengingkaran kesyirikan lebih mesti diprioritaskan daripada pengingkaran pada maksiat lainnya, walaupun itu juga dosa atau termasuk dosa besar. Karena orang yang mengingkari berbagai tradisi kesyirikan, berbagai bentuk sihir dan perdukunan atau klenik, akan membersihkan masyarakat dari berbagai macam khurofarat dan membersihkan negeri kaum muslimin dari bentuk peribadahan pada kubur. Keutamaan mengingkari kesyirikan ini lebih besar dari pengingkaran pada perzinaan, pencurian, korupsi, dan minuman keras. Apalagi yang diingkari adalah syirik akbar yang bisa membuat pelakunya murtad.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik” (HR. Abu Daud no. 3883, Ibnu Majah no. 3530 dan Ahmad 1: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini menambahkan bahwa pelet untuk mengikat cinta apa pun bentuknya, baik susuk atau bulu perindu juga termasuk perbuatan syirik.
Dari Ruwaifi’ bin Tsabit berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
Wahai Ruwaifi’, semoga umurmu panjang sepeninggalku. Katakanlah pada orang-orang bahwa siapa saja yang mengikat jenggotnya (dalam rangka sombong atau untuk mempercantik diri seperti wanita, pen) atau memakai kalung atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau dengan tulang, maka Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- benar-benar berlepas diri darinya (dari pelaku dan perbuatannya).” (HR. Abu Daud no. 36, An Nasai no. 5067 dan Ahmad 4: 108. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Sahabat Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata,
من قطع تميمة عن إنسان كان كعدل رقبة
Barangsiapa yang memotong tamimah dari seseorang, maka ia seperti membebaskan seorang budak” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5: 36).
Tamimah (jimat) dari Ayat Al Qur’an
Bagaimana jika tamimah atau jimat berasal dari Al Qur’an? Seperti seseorang menggantung mushaf Al Qur’an di rumahnya untuk melindungi rumah dari gangguan dan makhluk jahat, atau menggantungkan surat Al Ikhlas di dadanya. Semisal ini pula yaitu menggantungkan ayat kursi di dinding rumah agar rumah tidak kemasukan setan dan makhluk jahat.
Untuk masalah tamimah berasal dari Al Qur’an para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama memberikan keringanan, sebagian lagi tetap melarang. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mas’ud. (Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab)
Dalil ulama yang membolehkan tamimah dari Al Qur’an yaitu di antaranya firman Allah Ta’ala,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ 
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al Isro’: 82).
Ulama yang melarang tamimah dari Al Qur’an beralasan:
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik”. Hadits ini umum menunjukkan seluruh tamimah, baik dari Al Qur’an atau selainnya. Jadi seluruh tamimah itu syirik. Namun mengatakan bahwa tamimah dari Al Qur’an itu syirik tidaklah tepat karena yang digantung adalah kalamullah.
Kedua, tamimah yang berasal dari Al Qur’an bisa jadi dibawa ke tempat kotor seperti toilet sehingga jadinya malah melecehkan Al Qur’an.
Ketiga, tidak bisa dibedakan apakah itu tamimah ataukah itu Qur’an sehingga sulit diingkari.
Keempat, tidak bisa dibedakan manakah ayat Qur’an dan manakah rajah-rajah yang berbau syirik karena sama-sama tulisan Arab. Sehingga seseorang bisa memakainya padahal itu hanyalah tulisan rajah yang tidak bermakna.
Pendapat kedua yang menyatakan tamimah dari Al Qur’an itu terlarang, itulah yang lebih tepat dengan alasan untuk saddudz dzaro’i, yaitu menutup jalan dari hal-hal yang terlarang. Kaedah inilah yang diterapkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Adapun mafsadat (kerusakan) dari menggantung tamimah dari Al Qur’an adalah sebagai berikut:
1.      Bisa membuat rancu, apakah yang digantung itu Al Qur’an ataukah memang azimat.
2.      Orang yang jahil (bodoh) ketika ia menggantungkan tamimah dari Al Qur’an, maka hatinya bergantung padanya, menganggap bahwa tamimah tersebut punya keistimewaan, bisa membuat rizki lancar, rumah terlindungi, dst. Padahal Al Qur’an itu cuma digantung, tidak dipelajari dan ditadabburi.
3.      Al Qur’an jadi dilecehkan dan dihinakan, karena tamimah semacam ini bisa dibawa tidur sehingga akhirnya ditindih atau bisa dibawa ke tempat kotor seperti toilet.
Dari sini seseorang tetap tidak boleh atau diharamkan menggunakan jimat,
Ya Allah, lindungilah kami dan keturunan kami dari segala macam bentuk kesyirikan. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
1.     At Tamhid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz ‘Alu Syaikh, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1423 H.
2.     Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta', cetakan ketujuh, 1431 H.
3.     Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Hamd bin 'Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, 1431 H.
4.     Kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq dan ta’liq: Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth, terbitan Darus Salam.
5.     Al Mulakhosh fii Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, 1422 H, hal. 72-73.