Syi’ah adalah salah satu
aliran atau mazhab dalam Islam. Secara umum, Syi'ah
menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti
juga Sunni menolak Imam dari
Imam Syi'ah. Syi'ah Zaidiyyah, termasuk Syi'ah yang tidak menolak kepemimpinan
tiga Khalifah sebelum Khalifah
Ali bin Abu Thalib. Syi'ah adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak-nya
adalah "Syiya'an". Syī`ī
menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Secara garis
besarnya, sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran
Syi'ah.
2.1.2 ASAL-USUL SYI’AH
SYI’AH secara
etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedangkan dalam istilah
Syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak pemerintahan Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu yang dikomandoi oleh Abdullah bin
Saba’, seorang Yahudi dari Yaman. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu, lalu Abdullah bin Saba’ mengintrodusir ajarannya secara
terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan
sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya ke tangan Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu karena suatu nash (teks) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.
Keyakinan itu
berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu
kebohongan, maka diambil tindakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian mereka melarikan diri ke Madain.
Aliran Syi’ah
pada abad pertama hijriyah belum merupakan aliran yang solid sebagai trend yang
mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke-2
Hijriyah dan abad-abad berikutnya.
2.1.3 POKOK-POKOK PENYIMPANGAN
SYI’AH
A. Pokok-Pokok Penyimpangan Syi’ah Secara
Umum :
1. Pada Rukun Iman :
Syi’ah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa
menyebut keimanan kepada para Malaikat, Kitab Allah, Rasul dan Qadha dan Qadar,
yaitu :
1. Tauhid (keesaan Allah),
2. Al-’Adl (keadilan Allah)
3. Nubuwwah (kenabian),
4. Imamah (kepemimpinan Imam),
5. Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan).
(Lihat ‘Aqa’idul Imamiyah oleh
Muhammad Ridha Mudhoffar dll).
2. Pada Rukum Islam :
Syi’ah tidak mencantumkan Syahadatain dalam
rukun Islam, yaitu :
1.Shalat,
2.Zakat,
3.Puasa,
4.Haji,
5.Wilayah (perwalian) (lihat Al-Kafie juz
II hal 18)
3. Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang
ini telah dirubah,
ditambahi atau dikurangi dari yang
seharusnya, seperti :
وَ إِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فِي عَلِيٍّ
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ (الكافي ج 1 ص 417.)
“wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna ‘ala
‘abdina FII ‘ALIYYIN fa`tu bi shuratim mim mits lih ” (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan “fii ‘Aliyyin” dari teks asli
Al-Qur’an yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ
فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [البقرة/23]
“wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna ‘ala
‘abdina fa`tu bi shuratim mim mits lih” (Al-Baqarah:23)
Karena itu mereka meyakini bahwa : Abu
Abdillah a.s (imam Syi’ah) berkata: “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril a.s.
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 17.000 ayat (Al-Kafi
fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat
itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi’ah Al-Kafi fil Ushul juz
I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan An-Nuri
Ath-Thibrisy).
4. Syi’ah meyakini bahwa para Sahabat
sepeninggal Nabi
hallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka murtad, kecuali
beberapa orang saja, seperti: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary dan
Salman Al-Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal.245, Al-Ushul minal Kafi
juz II hal 244).
5. Syi’ah menggunakan senjata “taqiyyah”
yaitu berbohong,
dengan cara
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabui (Al
Kafi fil Ushul Juz II hal.217).
6. Syi’ah percaya kepada Ar-Raj’ah yaitu
kembalinya roh-roh
ke jasadnya
masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat dikala imam Ghaib mereka keluar dari
persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam
kepada lawan-lawannya.
7. Syi’ah percaya kepada Al-Bada’, yakni tampak bagi Allah
dalam hal
keimaman Ismail (yang telah dinobatkan keimamannya oleh ayahnya, Ja’far As-Shadiq,
tetapi kemudian meninggal disaat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak
tampak. Jadi bagi mereka, Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum
(terjaga).
8. Syi’ah membolehkan “nikah mut’ah”, yaitu
nikah kontrak
dengan jangka
waktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shadiqin Juz II
hal.493). Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.
[petunjukjalanislam]
2.1.4 TOKOH-TOKOH SYI’AH
Tokoh-tokoh Syi'ah
1 Nashr bin Muzahim
2 Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy'ari
3 Ahmad bin Abi Abdillah Al-Barqi
4 Ibrahim bin Hilal Ats-Tsaqafi
5 Muhammad bin Hasan bin Furukh
Ash-Shaffar
6 Muhammad bin Mas’ud Al-‘Ayasyi
As-Samarqandi
7 Ali bin Babawaeh Al-Qomi
8 Syaikhul Masyayikh, Muhammad
Al-Kulaini
9 Ibnu ‘Aqil Al-‘Ummani
10 Muhammad bin Hamam Al-Iskafi
11 Muhammad bin Umar Al-Kasyi
12 Ibn Qawlawaeh Al-Qomi
13 Abu Ghalib Az-Zurari
14 Ra`îsul Muhadditsîn, Syeikh Shaduq
15 Ibnu Junaid Al-Iskafi
16 Sayid Radhi
17 Syaikh Mufid
18 Sayid Murtadha Alamulhuda
19 Syeikh Abu Shalah Al-Halabi
20 Ahmad bin Ali An-Najasyi
2.1.5
SISI PERBEDAAN POKOKANTARA AQIDAH AHLUS SUNNAH
DAN
SYI’AH,
1. NAMA DAN SEJARAH LAHIR
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah didirikan oleh Rosulullah_, dinamalan dengan Ahlus Sunnah karena pengikutnya senantiasa berpegang
teguh kepada Sunnah Rosulullah, dan dinamakan juga dengan Al Jama’ah karena
pengikutnya adalah merupakan mayoritas
pemeluk
Islam yang bersatu dalam kebenaran dan tidak berpecah belah di dalamnya,
mereka senantiasa mengikiuti konsep para pemimpin kebenaran dan tidak pernah
menyelisihi mereka dalam satu perkarapun dalam masalah aqidah. (Al Mausu’ah Al Muyassaroh Fil
Adyan wal Madzahib wal Ahzab Al
Mu’ashiroh, DR. Mani’
Al Juhani 1/40)
“…dan ummatku akan terpecah
menjadi 73 ajaran /kelompok, semuanya dalam Neraka kecuali satu ajaran/kelmpok.”
Para sahabat bertanya: “Siapakah kelompok itu wahai Rosulullah?” beliau
menjawab:
“Kelompok yang aku dan para
sahabatku anut.” (HR.
Tirmidzi dan dihasankan oleh
Syekh Al Albani).
|
Syi’ah
artinya Kelompok. Artinya kelompok yang mengaku mengikuti Ali bin Abi Thalib,
padahal sesungguhnya mereka tidak mengikutinya dengan sebenarnya. Syi’ah
lahir kepermukaan ketika seorang yahudi bernama
Abdullah
bin Saba’ hadir dengan mengaku sebagai
seorang muslim, mencintai Ahlul Bait (keluarga nabi), berlebih-lebihan
di dalam menyanjung Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan mendakwakan
adanya wasiat baginya tentang kekhalifahannya, yang pada akhirnya ia
mengangkatnya sampai ke tingkat ketuhanan.
• Sa’ad Abdullah Al-Qummi pengarang
buku Al-Maqalaat wal firaq mengaku dan menetapkan akan adanya Abdullah bin
Saba’ ini, dan menganggapnya orang yang pertama kali menobatkan keimaman (kepemimpinan)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu serta munculnya kembali (di hari
akhirat nanti) di samping
ia juga termasuk orang yang
pertama mencela Abu Bakar, Umar, Ustman dan sahabat-sahabat yang lainnya
(Al-Maqaalat Wal Firaq, Al-Qummi hal : 10-21)
• Begitu juga An-Naubakhti dalam
bukunya Firaqus syi’ah hal : 19-20, dan Al-
Kusysyi dalam bukunya yang terkenal
Rijalul-Kusysyi hal : 170-171.
• Dan bahkan di antara ulama
kontemporer mereka; Muhammad Husein Al Zain berkata: “Apapun kenyataannya,
sesungguhnya pria ini, maksudnya Ibnu Saba’adalah nyata di alam wujud, dialah
yang menampakkan pengkultusan, sekalipun sebagian Syi’ah mengingkarinya dan menganggapnya
sebagai tokoh yang fiktif…adapun kami; menurut penelitian terakhir yang tidak
kita ragukan lagi, bahwa ia memang ada dan begitu pula pengkultusannya.” (Asy
Syi’ah fit Tarikh, hal: 213)
|
2. KETUHANAN
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
TUHAN
: Allah _, Robbul
‘Aalamin, Dialah Pencipta,
Pemilik,
dan Pengatur alam.
|
TUHAN:
???? Mungkin PARA IMAM 12 mereka
|
3. KITAB SUCI
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
AL-QUR’ANUL
KARIM yang dijamin keasliannya,
tidak
ada perubahan, penambahan atau pengurangan di
dalamnya.
|
AL-QUR’AN
MISTERIUS, karena Al Qur’an yang ada telah berubah.
|
4. KENABIAN
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
NABI:
Muhammad _, beliau telah
menyempaikan
risalah Islam dengan sempurna
|
NABI:
Muhammad _, namun beliau
tidak berhasil dalam menegakkan Agama
|
5. RUKUN ISLAM
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
RUKUN ISLAM
“Islam dibangun di atas lima
perkara;
Syahadat bahwa tidak adal ilah
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhhammad itu utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan shaum ramadhan.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
|
RUKUN ISLAM
• Al Kulaini telah meriwatkan di
dalam bukunya Al Kafi 2/15 dan Kitabul Iman
Wal Kufr Bab Da’aimul Islam. Dia
telah meriwayatkan dengan sanadnya
kepada Abu Ja’far AS, ia
berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:
Shalat, Zakat, Shaum, Haji dan Al
Wilayah (Kepemimpinan)..”
• Al Kulaini pun telah
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’afar AS
bahwa Islam dibangun di atas
lima perkara: Shalat, Zakat, Shaum, Haji dan Al
Wilayah (Kepemimpinan), Zuroroh
berkata: maka aku katakan: Apakah di
antara itu semua yang paling
Afdhal ? belaiu menjawab: Al Wilayah adalah
yang paling afdhal, kerena ia adalah
kuncinya…”
|
6. IMAMAH/KEPEMIMPINAN
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
Imamah menurt Ahlus Sunnah
Kepemimpinan setelah Rosulullah
adalah Al Khulafa’ur ; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab Al Faruq,
Usman bin Affan Dzun Nurain dan Abus Sibthain Ali bin Abi Thalib, kemudian
kepemimpinan berlanjut ke kepemimpinan Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib
kemudian pindah ke Dinasti Bani Umayyah dan setelah itu Bani Abbasiyah dst…Mereka
bukanlah orang-orang yang ma’shum dari kesalahan dan dosa, tidak memiliki
unsurunsur ketuhanan.
“Aku wasiatkan kalian untuk
bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun yang memerintahkan kalian
itu seorang budak dari bangsa Habasyah Sesungguhnya barang siapa di antara
kalian yang hidup (setelahku nanti) maka ia akan mendapati perselisihan yang
banyak: jauhilaholeh kalian perkara yang diada-adakan, karena perkara yang
diada-adakan itu adalah sesat. Maka barang siapa di antara kalian yang mengalaminya,
hendaklah ia berpegang teguh kepada sunnhku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang
mendapatkan petunjuk setelahku, gigitlah keduanya dengan gigi gerahammu.”
(HR. Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
(HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syekh Al Albani)
|
Imamah menurut Syi’ah
|
7. AHLUL BAIT (KELUARGA NABI)
AHLUS SUNNAH
|
S Y I ’A H / RAFIDHAH
|
Ahlul
Bait adalah keluarga Ali, keluarga Aqil keluarga Ja’far dan keluarga Abbas,
dan tidak diragukan pula bahwa istri-istri Rosulullah _ adalah dari keluarga beliau.
|
Ahlul
Bait adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Adapun Istri-istri
nabi,
maka mereka tidak termasuk ke dalamnya. Ahlul Bait adalah orangorang
yang
maksum dari kesalahan dan dosa.
|
2.2 Mu’tazilah
2.2.1 Pengertian Mu’tazilah
Secara
etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan
kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an,
kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai
arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam
ayat:
فَإِنِاعْتَزَلُوكُمْفَلَمْيُقَاتِلُوكُمْوَأَْلقَوْااِلَيْكُمُالسَّلَمَفَمَاجَعَلَ
اللهُلَكُمْعَلَيْهِمْسَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian
ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang
berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku
dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan
Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai
reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai
soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang
berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.
Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar
itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial
ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang
ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang
mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya
orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh
karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang
itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan
dari siksaan orang kafir
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I:
Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap
politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam
pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali
diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa
sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah,
namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga
mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa
sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn
Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan
kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja
menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan
hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah
khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti
yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II:
Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij
dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status
kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini
masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah
untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
1. Versi Asy-Syahrastani
mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara
Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah.
Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid
Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri
tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir,
tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan
mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya.
Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri
dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan
diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
2.Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa
Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari
majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan
orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
3.Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa
Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan
majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri
dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan
Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai
mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil
dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini
memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah
(Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika
Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini
hukumnya syirik.
Pada
umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha’.
Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini
muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar.
Wasil berkata dalam menentang pendapat Hasan.
Kami
juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah washil,
walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti
Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah
seorang penyiar paham iniyang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang
dialah tokoh utamanya.
Sebagian
orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka terdiri
dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup
bersenag-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang
predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia. Sebenarnya tidak
semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula
yang dituduh melakukan pekerjaan–pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada
pula yang jahat.
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya
memiliki dua cabang yaitu:
1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr
Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin
Salim, dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad
ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian
Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2.
Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan
didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang
dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu
Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H),
dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).Inilah imam-imam Mu`tazilah di
sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam
yang tereang-terangan menganut aliran ini dan mendukunhnya adalah Yazid Bin
Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
3.
Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid
(Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
4.
Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid
(Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
5. Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232
H)
2.2.2. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran
Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima
ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah
at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id
(janji dan ancaman tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua
posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada
kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).
a. At-Tauhid
At-tauhid
(pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun,
bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh
karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka
telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan
memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan
tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu
esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa,
mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan
dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan
itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil
bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan “siapa
yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”. Ini tidak
dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana di kutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzatnya.
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi
dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang
satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan
antara Al-jubba’I dengan Abu Hasyim adalah pernyataan bahwa “tuhan
mengetahui dengan esensinya”. Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut
adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam
bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim,
pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun
demikian, mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki sifat.
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles. Agaknya beralasan, bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar adil.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala mengesankan adanya kejisiman tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan nya. Tegasnya, mu’tazil antropomorfisme.
Penolakan terhadap faham
antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki
rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada
pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
لَيْسَكَمِثْلِهِشَيْءٌوَهُوَالسَّمِيعُالْبَصِيرُ
Artinya: “tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia”(QS. Asy syuraa 42:11)
Memang tidak dapat dibantah bahwa
mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah terkena pengaruh filsafat yunani,
namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta hellenisme. Usaha keras
mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar membuahkan
hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran hellenistik
yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para
penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan berbagai aliran
keagamaan yang lain di India.
Untuk
menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil
terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman tuhan. Mereka
mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga
hilanglah kejisiman tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara
semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam
bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata
tangan (Q.S shad 38:75) diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S.
al-Maidah 5:64) di artikan “nikmat”. Kata wajah ((Q.S. ar-Rahman 55:27)
diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri ((Q.S. Thaha 20:5) diartikan
“kekuasaan”.
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat, tentu diduniapin dia dapat dilihat oleh mata kepala. Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-Qiyamah 75:22-23) di takwilkan dengan “mengetahui”
b.
Al-Adl
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil
ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena
tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan
tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam
semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika
bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang
tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/
melanggar janjinya. Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran
tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
·
Perbuatan manusia
manusia menurut mu’tazilah, melakukan
dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan
tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas menentukan
pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki
yang baik, bukan yang buruk.
·
Berbuat baik dan terbaik
Dalam
istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah.
Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk
manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan
bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi
tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang
lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna.
Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat
jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan
tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak
bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.
·
Mengutus rasul
Mengutus
rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut
ini :
Tuhan wajib berlaku baik kepada
manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada
mereka.
Al-qur’an secara tegas menyatakan
kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro
26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut
berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.
c.
Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran
ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa
al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana
tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh
janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat
baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka
(al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau
bertobat nashuha, pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya,
siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga
sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu
memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat
maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi
pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang
menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan
bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan
mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa
d.
Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah
ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal
dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang
tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang
musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan
dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu
diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain
lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain
al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid
harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal
dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok
ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan
lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm,
menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa
besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik
(hipokrit).”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap
mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min
pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.
Menurut
pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min
secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan,
tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar,
tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan
dan rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan
belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya.
Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih
ringan dari pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak
dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”.
Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa,
baik besar maupun yang kecil.
e.
Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa
An-Nahy An-Munkar
Ajaran
dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran
(Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan
yang dilarang itu adalah munkar
ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata
dilakukan orang
ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau
nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
ia mengetahui atau
paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya.
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy
an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan
dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh
masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya,
al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah
sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase
tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan
sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan
dengannorma tuhan.Perbedaan mazhab
Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada
tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan
dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat
kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya
2.2.3 Kritik Terhadap Ajaran Mu’tazilah
Pada ajaran Mu’tazilah at-Tauhid
dikatakan bahwasanya “Mereka menafikan/ meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila
Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.”
Sudah dijelaskan di Al-Qur’an bahwa Allah mempunyai sifat wajib yang sebanyak
20, yaitu wujud, qidam, baqa’, muqalafatililqawatisi, dsb. Jadi sangat jelas
bahwa ajaran at-Tauhid ini menyimpang dengan esensi Al-Qur’an. Pada kasus ini,
orang-orang Mu’tazilah salah menafsirkan sifat-sifat Allah. Sifat yang banyak
tidak berarti Allah berbilang-bilang. Allah tetap Esa dengan segala
sifat-sifatnya.
At-Tauhid juga mengajarkan bahwa
“Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.” Ajaran
ini juga tidak sesuai dengan Al-Qur’an, karena di Al-Qur’an dikatan barang
orang-orang soleh akan berjumpa dengan Allah nanti di akhiat. Aliran Mu’tazilah
juga tidak menyebutkan atas dasar apa ajaran ini dikeluarkan, jadi kefalidannya
tidak jelas.
Ajaran
ketiga aliran Mu’tazilah adalah janji dan ancaman yang di dalamnya tertulis
bahwa “di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan
al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).” Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa
siapa yang selalu berolawat atas Nabi maka di hari akhir akan mendapat
Syafaatnya. Memang Syafaat ini hanya untuk orang-orang yang taat, jadi
orang-orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat sudah
dipastiakan tidak akan mendapat Syafaat di hari akhir. Sesuai eseni Al-Qur’an,
Syafaat ada di hari akhir, jadi ekali lagi ajaran ini menyimpang dari
dasar-dasar agama Islam.
Selanjutnya
yaitu ajaran tentang tempat diantara dua tempat, tempat bagi orang Fasik, yaitu
orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti
akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Ajaran
ini sangat membingungkan, karena Mu’tazilah sendiri tidak mendiskribsikan
bagaimana keadaan tempat tersebut. Bisa tempat yang setengah surga dan setengah
neraka, atau mungkin bisa juga tempat yang setengah panas dan setengah indah.
Kalau dipikir secara logika sangat tidak rasional. Tidak adil juga jika orang
yang berbuat dosa besar tidak disiksa dalam neraka, padahal dikatakan dalam
Al-Qur’an, jangankan dosa besar, dosa sekecil zahro saja akan dipertangjawabkan
yaitu berupa siksa api neraga. Lalu bagaimana bisa orang yang berbuat dosa
besar tidak masuk dalam neraka.
Dalam
ajaran amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah mengatakan bahwa “Orang yang
menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau
diluruskan”. Tercatat oleh sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh
ulama-ulama Islam diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang
ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”. Pada
ajaran ini kaum Mu’tazilah menggunakan dasar al-Hadist yang artinya “siapa
diantaramu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”. Nampaknya
salah penafsiran terjadi kembali pada ajaran ini. Hadist mengatakan “rubahlah
dengan tanganmu sendiri” maksudnya tidak dengan kekerasan tangan (membunuh)
seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah tersebut. Namun bagaimana kita bertindak
untuk membenarkan mereka yang salah dengan halus dan sopan seperti cara Rasul
menyebarkan ajaran Islam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan amar
ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum
Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai
dengan Qur’an.
2.2.4 Kesimpulan
Aliran
Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal
dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“.
Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul
banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan
keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah
melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya.
Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak
pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syi’ah, kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal
dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang
tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.
Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran
kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya
yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat
dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan
kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan
gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini
terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu, mereka lebih
mendahulukan akal.
Bermunculanlah
pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan
“Aqlaniyah”, Modernisasi pemikiran. “Westernasi” dan “Sekulerisme” serta
nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka
anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan
menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini.
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini
dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya
2.3 MURJI’AH
2.3.1 Pendahuluan
Alhamdulillahi puji syukur hanya milik Allah swt Rabb semesta alam, pada risalah singkat ini, akan di paparkan secara global tentang Murji’ah, dari pengertiannya kemudian Sejarah Munculnya, Para Tokoh Penggagas Pemikiran ini, Pemikiran-pemikiran nyeleneh mereka Dalam Memaknai Iman, dalil-dalil Yang Digunakan Oleh Kaum Murji’ah Untuk Membenarkan Pemikiran Mereka Serta Bantahan-Bantahanya.
Alhamdulillahi puji syukur hanya milik Allah swt Rabb semesta alam, pada risalah singkat ini, akan di paparkan secara global tentang Murji’ah, dari pengertiannya kemudian Sejarah Munculnya, Para Tokoh Penggagas Pemikiran ini, Pemikiran-pemikiran nyeleneh mereka Dalam Memaknai Iman, dalil-dalil Yang Digunakan Oleh Kaum Murji’ah Untuk Membenarkan Pemikiran Mereka Serta Bantahan-Bantahanya.
Dalam
kubu mereka sendiri terpecah menjadi beberapa sekte, masing-masing berbeda dalam
mengartikan makna irja’ di antaranya adalah: Murji’ah Sunnah, Murji’ah
Qadariyyah, Murji’ah khawarij dan Murji’ah Kholisoh. dalam pembahasan kali ini
penyusun tidak akan membahas satu persatu, namun hanya akan menerangkan
bahayanya pemikiran ini bagi Aqidah Salimah yang perlu dijaga agar tidak
tercampuri oleh pemikiran sesat, Murji’ahlah salah satunya semoga bermanfaat
.
2.3.2 Pengertian
Murji’ah
Secara
Bahasa : Berasal dari kata الإرجاء yang berarti dua makna:
Pertama, ta’khir (mengakhirkan Atau menangguhkan), seperti dalam perkataan seseorang, Arja’tu Kadza, maksudnya adalah, ia ingin :mengakhirkan sesuatu. Di sebutkan dalam firman Allah
Pertama, ta’khir (mengakhirkan Atau menangguhkan), seperti dalam perkataan seseorang, Arja’tu Kadza, maksudnya adalah, ia ingin :mengakhirkan sesuatu. Di sebutkan dalam firman Allah
قَالُوا
أَرْجِهْ وَأَخَاهُ
Artinya:”
Pemuka-pemuka itu menjawab: “Beritangguhlah dia dan saudaranya” (Qs. Al A’raf
:111). Maksudnya ialah pemuka-pemuka fir’aun ingin bengakhirkannya.
Kedua, I’tha’u Ar-rajaa’ (memberikan harapan) , seperti dalam perkataan seseorang, Arjaitu fulanan, artimya adalah ia ingin memberikan harapan :Ukepada si fulan. Di sebutkan dalam firman Allah
Kedua, I’tha’u Ar-rajaa’ (memberikan harapan) , seperti dalam perkataan seseorang, Arjaitu fulanan, artimya adalah ia ingin memberikan harapan :Ukepada si fulan. Di sebutkan dalam firman Allah
وَآخَرُونَ
اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى
اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:” Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. At Taubah:102)
Secara Istilah : Di ambil dari arti bahasanya yaitu mengakhirkan atau meremehkan. Yang dimaksud adalah mengakhirkan amal yang berkenaan dengan keimanan dan menempatkanya pada kedudukan yang kedua dari iman dengan kata lain tidak menganggap amal bagian dari iman sebagaimana perkataan orang-orang yang mengeklaim bahwa maksiat tidak berpengaruh apapun pada keimanan seseorang begitupula ketaatan tidak bermanfaat apapun bila yang mengerjakannya adalah seseorang yang kafir.
Artinya:” Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. At Taubah:102)
Secara Istilah : Di ambil dari arti bahasanya yaitu mengakhirkan atau meremehkan. Yang dimaksud adalah mengakhirkan amal yang berkenaan dengan keimanan dan menempatkanya pada kedudukan yang kedua dari iman dengan kata lain tidak menganggap amal bagian dari iman sebagaimana perkataan orang-orang yang mengeklaim bahwa maksiat tidak berpengaruh apapun pada keimanan seseorang begitupula ketaatan tidak bermanfaat apapun bila yang mengerjakannya adalah seseorang yang kafir.
tDi
riwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Ibnu Abbas
berkata: Bersabda rRasulullah “Dua golongan dari bani adam yang bukan
termasuk bagian dari islam, Murji’ah dan qodariyyah”
2.3.3 Sejarah
Munculnya Dan Para Tokoh Penggagas Pemikiran Murji’ah
Mengenai Sejarah Munculnya Dan Para Tokoh Penggagas Pemikiran Murji’ah ada perbedaan pendapat, sebagian orang berpendapat, yang pertama kali mengenalkan faham irja’ adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib atau yang terkenal bernama Ibnu Hanafiyyah. Ia telah menulis sejumlah kitab yang di sebarluaskan ke berbagai penjuru. Menurutnya, orang yang melakukan dosa besar tidak di hukumi sebagai orang kafir, sebab ketaatan seseorang untuk melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi laranga-Nya bukan termasuk dasar iman. Oleh karena itu, Hilangnya ketaatan seseorang tidak akan menyebabkan hilangnya keimanannya.
Mengenai Sejarah Munculnya Dan Para Tokoh Penggagas Pemikiran Murji’ah ada perbedaan pendapat, sebagian orang berpendapat, yang pertama kali mengenalkan faham irja’ adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib atau yang terkenal bernama Ibnu Hanafiyyah. Ia telah menulis sejumlah kitab yang di sebarluaskan ke berbagai penjuru. Menurutnya, orang yang melakukan dosa besar tidak di hukumi sebagai orang kafir, sebab ketaatan seseorang untuk melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi laranga-Nya bukan termasuk dasar iman. Oleh karena itu, Hilangnya ketaatan seseorang tidak akan menyebabkan hilangnya keimanannya.
Sebagian
yang lain berpendapat, yang pertama kali mengenalkan faham irja’ adalah Abu
Salat As-Saman (wafat tahun 152 H)
Di riwayatkan pula dari Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, Dari Sulaiman bin Harb, Ia berkata:”Aku pernah menanyakan kepada Abu Wa’il tentang paham Murji’ah…”. Sedangkan Abu Wai’il wafat pada tahun 99 H. pada riwayat yang lain 82 H.
Di riwayatkan pula dari Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, Dari Sulaiman bin Harb, Ia berkata:”Aku pernah menanyakan kepada Abu Wa’il tentang paham Murji’ah…”. Sedangkan Abu Wai’il wafat pada tahun 99 H. pada riwayat yang lain 82 H.
Dari
sini, dapat di simpulkan bahwa faham ini sudah ada sejak abad pertama hijriyah.
Sampai kemudian datanglah Al Jahm bin Shofwan yang wafat pada tahun 128 H. Ia berkata:”bahwasanya iman adalah ma’rifah (cukup mengetahui dan beriman kepada Allah swt saja tanpa ada tuntutan lain). Masih banyak lagi tokoh-tokoh mereka yang lain,
Sampai kemudian datanglah Al Jahm bin Shofwan yang wafat pada tahun 128 H. Ia berkata:”bahwasanya iman adalah ma’rifah (cukup mengetahui dan beriman kepada Allah swt saja tanpa ada tuntutan lain). Masih banyak lagi tokoh-tokoh mereka yang lain,
2.3.4 Pemikiran
Pengikut Faham Murji’ah Dalam Memaknai Iman
Secara garis besar Aqidah Murji’ah dapat di kelompokan sebagai berikut :
1. Pengertian iman adalah hanya meyakini atau mengetahui dalam hati atau ucapan saja.
Secara garis besar Aqidah Murji’ah dapat di kelompokan sebagai berikut :
1. Pengertian iman adalah hanya meyakini atau mengetahui dalam hati atau ucapan saja.
2.
Mereka berkeyakinan bahwa amal bukan termasuk dalam hakikat iman dan tidak
termasuk bagian dari iman.
3. Iman
tidak dapat bertambah dan berkurang, karena keyakinan pada sesuatu tidak
termasuk didalamnya penambahan atau pengurangan.
4. Dari
aqidah murji’ah jahmiyah adalah meyakini bahwa yang di maksud kufur kepada
Allah adalah dikarenakan ketidak tahuan manusia kepada saja.U
sedangkan iman adalah cukup mengetahui Allah UAllah
5. Para
pengikut Murji’ah juga mengartikan kata irja’ dengan pengertian menunda hukuman
bagi orang yang berbuat dosa besar hingga hari kiamat dan menyerahkannya kepada
Allah swt. Dengan kata lain, orang yang berbuat dosa besar tidak akan di hukum
di dunia, tetapi di akhirat nanti.
2.3.5 Dalil-Dalil
Yang Digunakan Oleh Kaum Murji’ah Untuk Membenarkan
Pemikiran
Mereka Serta Bantahan-Bantahanya
Pengikut
Murji’ah berusaha mencari dalil-dalil yang yang dapat membantu dalam
membenarkan pemikiran mereka dengan menggunakan nash-nash yang syubhat dan
telah keluar dari tujuan nash sebenarnya, mereka menggunakan Al qur’an dan As
sunnah An nabawiyah serta berdalih bahwa dari sekian banyak dalil-dalil yang di
gunakan, semuanya berkaitan serta membenarkan pemikiran-pemikiran mereka, yang
hakekatnya penuh dengan kesesatan.
:UPertama,
Dari Al qur’anul Karim, mereka berdalil melalui perkataan Allah
1. Qs. An Nisa’: 48
1. Qs. An Nisa’: 48
إِنَّ
اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ
Artinya:”
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
2. Qs. Az Zumar: 53
2. Qs. Az Zumar: 53
قُلْ يَا
عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ
هُوَالْغَفُورالرَّحِيمُُ
Artinya:” Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Artinya:” Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
3.
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Al jahmiyah didalam berbagai nash yang
menjadikan keimanan atau kekafiran bertempat pada hati sebagaimana Qs. Al Mujadilah: 22Ufirman
Allah
أُولَئِكَ
كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ
جَنَّاتٍ
Artinya:”
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga”
4. Qs. An Nahl:106
4. Qs. An Nahl:106
إِلا
مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
Artinya:”
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa)”
Kedua,
Dari As sunnah An nabawiyah, mereka berdalil :
قول
الرسول .من مات
يشرك با الله شيئا دخل النار) قال إبن مسعود(من مات لايشرك با الله شيئا دخل الجنة)
rArtinya:
Sabda Rasul “Barang siapa yang mati
dalam keadaan Umenyekutukan
Allah dengan sesuatu maka ia masuk
neraka” Berkata Ibnu UMas’ud
ra”Barang siapa yang mati tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia masuk jannah”
وقوله
فيما يرويه عن ربه أنه قال:(يا إبن آدم إنك لو أتيتني بقراب الأرض خطايا ثم
لقيتني لا تشرك بي شيعا لأتيتك بقرابهامغفرة)
Artinya:
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh subhanahu wa ta’ala
berfirman ” Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan
sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan
sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu
pula.”
وقوله (اللهم
ثبت قلب علي دينك)
rArtinya:
Sabdanya ”Ya Allah tetapkanlah hatiku
atas dien-Mu”
وقوله (التقوي
ها هنا,ويشير
إلي صدره ثلاث مرات)
” Taqwa itu ada disini (beliau sambil menunjuk dadanya 3 kali).”rArtinya: Sabdanya
” Taqwa itu ada disini (beliau sambil menunjuk dadanya 3 kali).”rArtinya: Sabdanya
Demikian dalil-dalil yang digunakan oleh kaum
Murji’ah yang mengesampingkan amal dari hakikat keimanan, pemahaman tersebut
tidak bisa di benarkan karena hal itu berarti meremehkan amalan-amalan dhohir
(yang nampak) dengan amalan-amalan hati, maka menurut mereka beriman dalam hati
merupakan pedoman dasar dalam keimanan. Padahal bila di tinjau lebih lanjut
bahwa dampak dari suatu keyakinan yang tertancap dalam hati adalah dengan mengamalkanya
melalui seluruh anggota badan, sedangkan dalil-dalil di atas secara
terang-terangan menunjukan bahwa iman tidak cukup hanya yakin dalam hati saja,
namun suatu keimanan tidak bisa nampak pada seseorang manakala ia tidak
mengamalkannya dengan seluruh anggota badannya, hal ini menunjukan akan
urgennya amal dalam hakikat keimanan, bagi siapa saja yang menolak ideologi
ini, maka mereka akan meremehkan suatu hukum sampai pada masalah kefajiran
orang-orang yang sudah tidak di ragukan lagi akan kefaajirannya.
Bahkan mereka tidak mengkafirkan seseorang
meskipun ia telah mengerjakan kekufuran secara terang-terangan, walhasil selama
di dalam hatinya masih mempercayai syariat islam, walau tidak mengamalkannya,
bahkan justru mengerjakan amalan-amalan kekafiran maka ia tidak kafir.
Bukti lain dari kesyubhatan aqidah mereka adalah dengan berhukum bahwa barang siapa yang mati sedang ia bertaubat dengan mengucapkan syahadat sebelum matinya, entah ia bermaksiat maupun tidak, maka ia akan mati dalam keadaan bertauhid.
Bukti lain dari kesyubhatan aqidah mereka adalah dengan berhukum bahwa barang siapa yang mati sedang ia bertaubat dengan mengucapkan syahadat sebelum matinya, entah ia bermaksiat maupun tidak, maka ia akan mati dalam keadaan bertauhid.
Begitu pula dengan berpegang pada sabda
Rosulullah saw:”Taqwa berada di sini (hati)” mereka mengatakan bahwa keimanan
dan kekufuran keduanya bersumber dari hati. Makna taqwa yang mereka definisikan
apabila tidak di barengi dengan amalan seluruh anggota badan maka bukan taqwa
yang sebenarnya .Wallahu A’lam.
2.4 KHAWARIJ
2.4.1 Pengertian
Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang
yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk
menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a.
karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim
dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin
( 37 H / 657 M).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok
ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual,
yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan
Allah.
Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan
firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij
sedang yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya
terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya
tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah
saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun
sebutan (laqob). Secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika
Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang
membuat pembahasan tentang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi
buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah
saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.
2.4.2 Awal
Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran
khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca
perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan
Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh
quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang
lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata
melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah
pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam
riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di
siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula,
ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
“Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan
rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih
dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu
meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
melarangnya. Beliau menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum
reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya,
salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan
shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti
keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri)
Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang
munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun,
menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah
dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain
dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah
melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari
kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya
anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka
adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR.
Muslim)
2.4.3 Ajaran-ajaran
pokok golongan khawarij:
·
Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang
antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dan
pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
·
Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus
dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak
mesti keturunan Quraisy. Jadi,
seorang muslim dari
golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
2.4.4 Tokoh-tokoh
utama Khawarij
2.4.5 Khawarij
terpecah menjadi beberapa sekte
Akibat
perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa
sekte, antara lain:
·
Sekte Muhakkimah, yang
merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi
Thalib.
·
Sekte al-Ajaridah yang
dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam
perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecilseperti Syu'aibiyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah, Maimuniyyah, dll.
2.4.6 Sifat‑sifat
Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan
menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil
dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani
berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan
mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan
sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya
mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan
kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang
Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka
kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan
menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar
menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding
yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan
ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali
tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas.
Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya
karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur
malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka
‘kapalan’. Mereka disebutquro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan
lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij
dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya,
apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya
ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada
apa-apanya.
“Akan keluar satu kaum dari
umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan bacaan mereka, demikian pula sholat kalian tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan puasa mereka.”(HR. Muslim)
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan
yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka
mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar
meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya
bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk
menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian
Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang
duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari
yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini
dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung
memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari
perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan
ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya,
tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung
saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah
melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu
milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari
orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang
Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan
Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an
dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak
memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal
sebaliknya akan membahayakannya.
7. Fasih dalam berbahasa.
Telah terkenal kefasihan mereka dalam berbicara dan
berbahasa, sehingga berkata Ibnu Ziyad:Sungguh ucapan mereka lebih cepat sampai
ke hati-hati manusia dari pada rambatan api ke batang kayu
2.4.7 Fenomena
Khawarij
Mereka akan senantiasa ada
sampai hari kiamat. “Mereka
akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
2.4.8 Kedudukan
Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia
disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing
neraka.
2.4.9 Sikap
terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh
jika menjumpai mereka. “Jika
engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”
No comments:
Post a Comment