adsense

cara ibadah yang benar

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Ada tiga sebab fundamental munculnya perilaku syirik, yaitu al-jahlu (kebodohan), dhai’ful iiman (lemahnya iman), dan taqliid (ikut-ikutan secara membabi-buta). Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab, mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cendrung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecenderungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh, dan dengan kobodohannya mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai narasumber yang sangat mereka agungkan. Penyebab kedua perbuatan syirik adalah dhai’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang imannya lemah cenderung berbuat maksiat. Sebab, rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut kepada Allah ini akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai diri seseorang. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya, maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden, atau selalu merujuk kepada para dukun untuk suapaya penampilannya tetap memikat hati orang banyak.
Taqliid sebab yang ketiga. Al-Qur’an selalu menggambarkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah selalu memberi alasan mereka melakukan itu karena mengikuti jejak nenek moyang mereka.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hakikat ibadah?
2. Apa saja rukun ibadah?
3. Apa saja syarat diterimanya ibadah?
4. Apa pengertian syirik dalam Islam?
5. Apa saja macam-macam syirik?
6. Apa contoh perilaku orang yang berbuat syirik?
7. Apa akibat perbuatan syirik?
8. Apa hikmah menghindari perbuatan syirik?
1.3 Tujuan
1.    Mengetahui pengertian hakekat ibadah
2.    Mengetahui apa saja rukun-rukun ibadah
3.    Mengetahui syarat-syarat diterimanya suatu ibadah
4.    Mengetahui pengertian syirik
5.    Mengetahui macam-macam syirik
6.    Mengetahui contoh perilaku orang yang berbuat syirik
7.    Mengetahui akibat perbuatan syirik
8.    Mengetahui hikmah menghindari perbuatan syirik





cara beribadah yang benar







BAB II
PEMBAHASAN
IBADAH YANG BENAR DAN MENJAUHI SYIRIK

2.1   Hakekat Ibadah
2.1.1   Pengertian Hakekat Ibadah
Arti Ibadah ( العِبَادَةُ ) secara bahasa adalah tunduk dan menghinakan diri serta khusyu’. Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah artinya ”tunduk kepada Tuhan yang menciptakan”. Imam Al Qurthuby berkata ”Asal ibadah ialah  tunduk dan menghinakan diri”.
a.    Secara istilah arti ibadah adalah sebagaimana  perkataan Ibnu Katsir : “Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang”. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata : “Ibadah ialah sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak”.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Firman Allah SWT :
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku(QS adz Dzariyat [51]:56 )

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya :Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah : 21) 
1.) (Sumber: Buletin Dakwah Al-Ittiba’, Yayasan Mutiara Hikmah Klaten – Jawa Tengah, edisi 21 tahun II, 2008 M)
2.1.2 Rukun Ibadah
Berdasarkan dalil-dalil yang ada baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah ibadah memiliki rukun-rukun yang ia terbangun di atasnya. Tidaklah suatu amalan yang diperintahkan menjadi sebuah ibadah bila ia tidak dibangun di atas rukun-rukunnya. Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada tiga, yaitu:
a.       Al-Hubb (cinta)
Ibadah dari asal maknanya bisa berarti menghinakan diri. Dan ia selain mengandung makna penghinaan diri di hadapan Allah azza wajalla juga mengandung al-Hubb (cinta) yang tinggi kepada-Nya azza wajalla. Dengan kecintaan yang tinggi disertai penghinaan yang sempurna kepada Allah subhanahu wata’ala, seorang hamba akan sampai pada penghambaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala, sebab puncak dari al-Hubb adalah at-Tatayyum (penghambaan). Sehingga tidak akan terbangun penghambaan diri kepada Allah azza wajalla kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta dan penghinaan diri.
b.       Al-Khouf (takut)
Ia merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang agung yang mana keikhlasan seseorang dalam beragama bagi Allah subhanahu wata’ala -sebagaimana yang Dia azza wajalla perintahkan kepada hamba-Nya- tidak akan lurus kecuali dengannya. Khouf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa hukuman dan adzab Allah azza wajalla yang menimbulkan sikap penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya azza wajalla
c.        Ar-Roja’ (berharap).
Ia juga termasuk peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung. Ialah harapan yang kuat atas rohmat dan balasan berupa pahala dari Allah subhanahu wata’ala yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala.
Maka, ibadah yang telah Allah azza wajalla fardhukan kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut padanya dengan sempurna. Peribadahan kepada Allah azza wajalla harus disertai ketundukan dan kecintaan yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah.
Di dalam al-Qur’an Allah azza wajalla menyebutkan rukun-rukun ibadah itu ketika menyifati peribadahan para anbiya’ (nabi-nabi) alaihimus salam dengan firman-Nya (yang artinya):
….. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap (atas rohmat Alloh) dan cemas (akan adzab-Nya). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.(QS. al-Anbiya’ [21]: 90)
http://alghoyami.wordpress.com/2011/04/16/memahami-ibadah-rukun-rukun-dan-syarat-syaratnya/
2.1.3        Syarat utama diterimanya ibadah
Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :
1.    IKHLAS  ( اَلإِخْلاَصُ )
Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat (  أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwatiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2]
Kemudian Rasulullah r bersabda :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]
Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima oleh Allah I . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad]

Kemudian firman Allah tentang larangan syirik ialah,
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]
Orang yang rajin beribadah kepada Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]
2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )
Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad r) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad  dalam segala hal, dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
Dan Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah saw  juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]
Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah, sebagaimana firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah .
Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.
Maka1.) barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak  memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :
1.)(Sumber: Buletin Dakwah Al-Ittiba’, Yayasan Mutiara Hikmah Klaten – Jawa Tengah, edisi 21 tahun II, 2008 M)
a.    Sebab ( اَلسَّبَبُ )
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
b.       JENIS ( اَلْجِنْسُ )
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.
c.       BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
d.       TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.
e.        WAKTU ( اَلزَّمَانُ )
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
f.        TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )
Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.
2.2  Syirik
2.2.1    Pengertian Syirik
Syirik dari segi bahasa artinya mempersekutukan, secara istilah adalah perbuatan yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Orang yang melakukan syirik disebut musyrik. Seorang musyrik melakukan suatu perbuatan terhadap makhluk (manusia maupun benda) yang seharusnya perbuatan itu hanya ditujukan kepada Allah seperti menuhankan sesuatu selain Allah dengan menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya, menaatinya, atau melakukan perbuatan lain yang tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah..
             syirik termasuk dosa besar. Allah mengampuni semua dosa yang dilakukan hambanya, kecuali dosa besar seperti syirik. Firman Allah SWT yang Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

إِنَّاللَّهَلَايَغْفِرُأَنْيُشْرَكَبِهِوَيَغْفِرُمَادُونَذَٰلِكَلِمَنْيَشَاءُ ۚ وَمَنْيُشْرِكْبِاللَّهِفَقَدِافْتَرَىٰإِثْمًاعَظِيمًا

. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisaa’: 48)
2.2.2    Macam-macam Syirik
Dilihat dari sifat dan tingkat sanksinya, syirik dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.        Syirik Akbar (Syirik Besar)
Syirik akbar merupakan syirik yang tidak akan mendapat ampunan Allah. Syirik akbar dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu Zahirun Jali (tampak nyata), yakni perbuatan kepada tuhan-tuhan selain Allah atau baik tuhan yang berbentuk berhala, binatang, bulan, matahari, batu, gunung, pohon besar, sapi, ular, manusia dan sebagainya. Demikian pula, menyembah mahluk-mahluk ghaib seperti setan, jin dan malaikat.
Yang kedua yaitu syirik akbar Bathinun Khafi (tersembunyi) seperti meminta pertolongan kepada orang yang telah meninggal. Setiap orang yang menaati makhluk lain serta mengikuti selain dari apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berarti telah terjerumus kedalam lembah kemusyrikan. Firman Allah SWT yang Artinya: “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”(Q.S Al-An’am:121)

b.        Syirik Asghar (Syirik Kecil)
Syirik asghar termasuk perbuatan dosa besar, akan tetapi masih ada peluang diampuni Allah jika pelakunya segera bertobat. Seorang pelaku syirik asghar dikhawatirkan akan meninggal dunia dalam keadaan kufur jika ia tidak segera bertaubat.
Contoh-contoh perbuatan syirik asghar antara lain:

a. Bersumpah dengan nama selain Allah SWT.
Sabda rasulullah SAW:
                                                            وَمَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللّٰهِ فَقَدْكَفَرَاَوْاَشْرَكَ
Artinya: “Dan barang siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka dia telah kufur atau syirik”. (HR. Tirmidzi).

b. Memakai Azimat
Memakai azimat termasuk perbuatan syirik karena mengandung unsur meminta atau mengharapkan sesuatu kepada kekuatan lain selain Allah.
Sabda rasulullah SAW:
                                                                                    مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةًفَقَدْاَشْرَكَ
Artinya: “Barangsiapa menggantungkan azimat, maka dia telah berbuat syirik”. (HR. Ahmad).

c. Mantera
Mantera yaitu mengucapkan kata-kata atau gumam-gumam yang dilakukan oleh orang jahiliyah dengan keyakinan, bahwa kata-kata atau gumam-gumam itu dapat menolak kejahatan atau bala dengan bantuan jin.
Sabda rasulullah SAW:
اِنَّ الرُّقْىَوَالتَّمَاٮِٕمَ وَالتَّوَلَةَشِرْكٌ
Artinya: ”Sesungguhnya mantera, azimat dan guna-guna itu adalah perbuatan syirik”. (HR. Ibnu Hibban).

d. Sihir
Sihir termasuk perbuatan syirik karena perbuatan tersebut dapat menipu atau mengelabui orang dengan bantuan jin atau setan. Dan dalam sebuah hadits disebutkan:مَ
نْ عَقَدَعُقْدَةًثُمَّ نَفَتَ فِيْهَافَقَدْسَحَرَ٬وَمَنْ سَحَرَفَقَدْاَشْرَكَ
Artinya: “Barangsiapa yang membuat suatu simpul kemudian dia meniupinya, maka sungguh ia telah menyihir. Barangsiapa menyihir, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Nasa’i).
e. Peramalan
            Yang dimaksud peramalan ialah menentukan dan memberitahukan tentang hal-hal yang ghaib pada masa-masa yang akan datang baik itu dilakukannya dengan ilmu perbintangan, dengan membaca garis-garis tangan, dengan bantuan jin dan sebagainya. Rasulullah SAW bersabda:

مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةًمِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِاقْتَبَسَ شُعْبَةًمِنَ السِّحْرِ
Artinya: “Barangsiapa yang mempelajari salah sat ilmu perbintangan, maka ia telah mempelajari sihir”. (HR. Abu Daud).
Yang dimaksud ilmu perbintangan dalam hadits ini bukanlah ilmu perbintangan yang mempelajari tentang planet yang dalam ilmu pengetahuan disebut astronomi.
f.     Dukun dan tenung
Dukun ialah orang yang dapat memberitahukan tentang hal-hal yang ghaib pada masa datang, atau memberitahukan apa yang tersirat dalam naluri manusia. Adapun tukang tenung adalah nama lain dari peramal atau dukun, atau orang-orang yang mengaku bahwa dirinya dapat mengetahui dan melakukan hal-hal yang ghaib, baik dengan bantuan jin atau setan, ataupun dengan membaca garis tangan. Dalam sebuah hadits diterangkan:

عَنْ وَاٮِٔلَةَبْنِ الْاَسْقَعِ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ قاَلَ : سَمِعتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صلى اللّٰهُ عليه وسلم يَقُوْلُ مَنْ اَتَى كَاهِنًافَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍحَجَبَتْ عَنْهُ التَّوْبَةُاَرْبَعِيْنَ لَيْلَةًفَاِنْ صَدَّقَهُ بِمَاقَالَ كَفَرَ
Artinya: “Dari Wailah bin Asqa’i ra berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa datang kepada tukang tenung lalu menanyakan tentang sesuatu, maka terhalanglah tobatnya selama empat puluh hari. Dan bila mempercayai perkataan tukang tenung itu, maka kafirlah ia”. (HR. Thabrani).

g. Bernazar kepada selain Allah
Dalam masyarakat masih dijumpai seseorang bernazar kepada selain Allah. Misalnya seseorang bernazar, “Jika aku sembuh dari penyakit aku akan mengadakan sesajian ke makam wali”. Perbuatan seperti itu adalah perbuatan yang sesat.
Firman Allah SWT yang Artinya: “Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya”. (QS. Al-Baqarah: 270).

h. Riya
Riya adalah beramal bukan karena Allah, melainkan karena ingin dipuji atau dilihat orang. Riya termasuk syirik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
خْوَفُ مَااَخاَفُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكَ الْاَصْغَرَفَسُٮِٔلَ عَنْهُ فَقَالَ الرِّيَاءُ
Artinya: “Sesuatu yang amat aku takuti yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab, ialah Riya”. (HR. Ahmad).
Menurut klasifikasi umum, syirik dibagi menjadi empat macam yaitu:
1. Syirku Al-‘Ilmi. Inilah syirik yang umumnya terjadi pada ilmuan. Mereka mengagungkan ilmu sebagai maha segalanya. Mereka tidak mempercayai pengetahuan yang diwahyukan Allah. Sebagai contoh mereka mengatakan bahwa manusia berasal dari kera.

2. Syirku At-Tasarruf. Syirik jenis ini pada prinsipnya disadari atau tidak oleh pelakunya, menentang bahwa Allah Maha Kuasa dan segala kendali atas penghidupan manusia berada di tangan-Nya. Mereka percaya adanya “perantara” itu mempunyai kekuasaan. Contohnya adalah kepercayaan bahwa Nabi Isa anak Tuhan, percaya pada dukun, tukang sihir atau sejenisnya.

3. Syirku Al- Ibadah. Inilah syirik yang menuhankan pikiran, ide-ide atau fantasi. Mereka hanya percaya pada fakta-fakta konkrit yang berasal dari pengalaman lahiriyah. Misalnya seorang atheis memuja ide pengingkaran terhadap berbagai bentuk kegiatan.

4. Syirku Al-‘Addah. Ini adalah kepercayaan terhadap tahayul. Sebagai contoh percaya bahwa angka 13 itu adalah angka sial sehingga tidak mau menggunakan angka tersebut, menghubungkan kucing hitam dengan kejahatan, dan sebagainya.

2.2.3        Contoh Perilaku Orang yang Berbuat Syirik

Pada masa pemerintahan Fir’aun, dari kaum Fir’aun kita dapat menarik pelajaran bahwa yang disebut syirik bukan hanya sikap seseorang yang mengagung-agungkan sesuatu dari kalangan sesama makhluk, termasuk sesama manusia (kultus), tetapi syirik juga meliputi sikap mengagung-agungkan diri sendiri kemudian menindas harkat dan martabat sesama manusia, seperti tingkah diktator dan tiran. Sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya: “Dan ini sama sekali tidak dalam ‘kegagalan’ atau ‘keperkasaan’, melainkan justru dalam kehinaan yang lebih mendasar, karena dia diperhamba oleh nefsunya sendiri untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Inilah keadaan Fir’aun yang kemudian mengalami hukum Tuhan yang tragis dan dramatis, dan dia baru insyaf setelah malapetaka menimpa, namun sudah terlambat.” (QS. Yunus: 90).

2.2.4         Akibat Perbuatan Syirik
Adapun akibat negatif yang ditimbulkan dari syirik, antara lain:
a. Sulit menerima kebenaran. Firman Allah SWT yang artinya:
“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat adzab yang berat.” (QS. Al-Baqarah: 7). Hati orang-orang syirik tertutup untuk menerima kebenaran baik yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya. Menurut Ibnu Jarir, ketertutupan hati orang syirik itu lantaran dari sifat kesombongan dan penentangannya terhadap kebenaran yang disampaikan kepadanya. Orang-orang syirik yang mendustakan ayat-ayat Allah dideri peringatan atau tudak sama saja bagi mereka, karena hati mereka buta.

b. Munculnya perasaan bimbang dan ragu. Firman Allah SWT yang artinya:
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu, dan mereka mendapat adzab yang pedih, karena mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10). Menurut pendapat Ibnu Abbas, penyakit hati orang syirik adalah perasaan bimbang dan ragu (syak), kegoncangan batin seperti inilah yang menjadikan mereka merasa gelisah. Hatinya tidak pernah tenang, merasa tidak puas dengan harta, jabatan yang mereka miliki.

c. Hanya akan memperoleh kesenangan sementara. Kesenangan hidup di dunia yang diperoleh orang-orang musyrik sifatnya sementara, di akhirat kelah akan mendapatkan siksa yang pedih. Meskipun ketika hidup di dunia mereka dalam keadaan miskin dan sengsara, lebih-lebih jika mereka kaya, bagi mereka hal itu tetap merupakan keuntungan dan kesenangan karena mereka mengikuti hawa nafsunya.

d. Amalan dan harta yang yang dinafkahkan sia-sia. Amalan yang dinafkahkan orang-orang musyrik adalah sia-sia (tidak diberi pahala oleh Allah), apa yang dimilikinya tidak akan dapat digunakan untuk menebus siksa di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“Perumpaan harta yang mereka infakkan di dalam kehidupan dunia ini, ibarat angin yang mengandung hawa sangat dingin yang menimpa tanaman (milik) suatu kaum yang menzalimi diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Ali Imran: 117).

e. Orang musyrik dinilai sebagai makhluk terburuk. Allah menilai orang-orang musyrik dengan penilaian yang sangat rendah. Orang-orang musyrik itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih rendah dan sesat daripada binatang.

f. Menjadi musuh Allah. Perbuatan musyrik menyebabkan murka Allah SWT, sebagaimana firman Allah:
“…..maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 98).

g. Dijanjikan mendapat siksa neraka. Allah menerangkan dalam firman-Nya:
“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitan muram (kepada mereka dikatakan), mengapa kamu syirik setelah beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS. Ali Imran: 106).
2.2.5        Hikmah Menghindari Perbuatan Syirik
Seseorang yang dapat membebaskan dirinya dari perbuatan syirik memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia secara nyata, antara lain:
1.    Mengangkat manusia ke derajat paling tinggi dan mulia.
2.    Mengalirkan rasa kesederhanaan dan kesahajaan
3.    Membuat manusia menjadi suci dan benar
4.    Memunculkan kepercayaan yang teguh dalam segala hal, tidak mempunyai hubungan khusus dengan siapapun atau apapun yang menyebabkan rusaknya iman.
5.    Tidak mudah putua asa dengan keadaan yang dihadapi.
6.    Menumbuhkan keberanian dalam diri manusia. Dalam hubungan ini ada dua
hal yang membuat manusia menjadi pengecut, yaitu takut mati, dan pemikiran yang menyatakan bahwa ada orang lain selain Allah yang dapat mencabut nyawanya.
7.    Mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan, menghalau rasa cemburu, dengki, dan iri hati.
8.     Menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah.



janganlah syirik kepada allah



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibadah ialah sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak. rukun-rukun ibadah meliputi rasa cinta terhadap allah swt, mempunyai rasa takut akan adzab darinya, sifat yang menjadi dasar agar kita selalu tunduk dan patuh atas perintahnya, dan berharap akan rahmat dan balasan terhadap pahala yang telah diperbuat baik secara lisan maupun perbuatan. suatu amal ibadah akan diterima oleh allah swt apabila memenuhi syarat-syarat dalam ketentuan islam. Adapun syarat utama diterimanya ibadah meliputi: rasa ikhlas atas apa yang dikerjakan, semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya, Mengikuti tuntunan nabi Muhammad, didalam islam apabila ibadah itu tidak mengikuti ajaran nabi muhammad maka ibadah tersebut tertolak.
Syirik yaitu kepercayaan terhadap suatu benda yang mempunyai kekuatan tertentu atau juga mempercayai hal-hal selain Allah Swt. Orang yang mempercayai hal tersebut dinamakan Musyrik. Sedangkan orang musyrik itu adalah orang yang mempersekutukan.
Pengertian Musyrik menurut istilah yaitu orang yang menyembah dan mengakui adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah, baik Zat, Sifat, ataupun perbuatan-Nya.
Sikap syirik dapat merusak, bahkan dapat menggugurkan aqidah Islam. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati jangan sampai gerak hati, ucapan, dan perbuatan kita terbawa kedalam kemusyrikan. Sebab ada syirik kecil dan syirik besar. Syirik kecil dapat berubah menjadi syirik besar.





Makalah IBADAH YANG BENAR DAN MENJAUHI SYIRIK




Daftar Pustaka
Subhani, Ja’far, Tauhid Dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996).
Wahhab, Muhammad Bin Abdul, Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000).
Tim Penyusun, Akidah Akhlak al-Hikmah, (Surabaya: Akik Pusaka, 2008).
(Sumber: Buletin Dakwah Al-Ittiba’, Yayasan Mutiara Hikmah Klaten – Jawa Tengah, edisi 21 tahun II, 2008 M)
http://alghoyami.wordpress.com/2011/04/16/memahami-ibadah-rukun-rukun-dan-syarat-syaratnya/



#cara ibadah umrah yang benar #cara ibadah yang benar #cara memimpin ibadah yang benar #tata cara ibadah haji yang benar #tata cara ibadah umrah yang benar #tata cara ibadah yang benar #tata cara ibadah yg benar

No comments:

Post a Comment